PEREOKONOMIAN PADA MASA KHULAFAURRASYIDDIN
A.
Pada Masa Pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Setelah Rasulullah Saw wafat,
khalifah islam yang terpilih pertama adalah Abu Bakar ash-Shiddiq yang bernama
lengkap Abdullah ibn Abu Qunafah at-Tamimi. Ia merupakan pemimpin agama
sekaligus kepala Negara kaum muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu
bakar banyak mengahadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok
murtad, nabi palsu, dan yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok
tersebut melalui perang Riddah.
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah
yang sangat wara’(hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua
setelah beliau dibai’at sebagai khalifah, beliau tetap berdagang dan
tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya.
(Abdul Aziz, 2010 : 111)
Didalam usahanya untuk
mensejahterakan umat islam, Abu bakar melaksanakan kebijakan ekonomi seperti
yang telah dilakukan Nabi Muhamad saw. Ia sangat memperhatikan masalah
perhitungan zakat sehingga tidak terjadinya kelebihan dan kekurangan
pembayarannya. Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan
Negara dan disismpan di baitul mal untuk langsung dibagikan kepada seluruh kaum
muslimin.
Dalam mendistribusikan baitul mal
tersebut, ia menerapkan prinsip kesamarataan, yaitu dengan memberikan
jumlah yang sama kepada sahabat Rasulullah dan tidak membeda-bedakan yang satu
dengan yang lainnya. Menurut Abu bakar dalam hal keutamaan beriman,
Allah swt yang akan memberikan ganjarannya, sedangkan dalam masalah kebutuhan
hidup, prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan. (Afzalurrahman,1995: 163)
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar , harta Baitul Mal tidak pernah
menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung dibagikan kepada seluruh
umat muslimin. Kebijakan tersebut berpengaruh pada peningakatan aggregate demand dan
aggregate supply pada akhirnya akan
menaikan total pendapatan nasional, dan memperkecil jurang pemisah antara si
miskin dan si kaya.\
Seperti halnya Rasulullah, Abu bakar juga
melakasankan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan, sebagian diberikan
kepada kaum muslimin dan sebagian yang lain tetap menjadi tanggungan Negara.
Disampinbg itu ia juga mengambil alih tanah-tanah dari orang-orang murtad umtuk
dimanfaatkan demi kepentingan seluruh umat islam. (Azyumardi
Azra, 2010 : 89)
Dalam
pemerintahan Abu Bakar, ciri-ciri ekonominya adalah:
1. Menerapkan praktek akad – akad perdagangan yang sesuai dengan prinsip
syariah.
2. Menegakan hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat
3. Tidak menjadikan akhli badar(orang yang berjihad pada perang Badar) sebagai
pejabat Negara, tidak mengistimewakan ahli badar dalam pembagian kekayaan Negara.
4. Mengelolah
barang tambang ( rikaz ) yang terdiri dari emas, perak, perunggu, besi, dan
baja sehingga menjadi sumber pendapatan Negara.
5. Menetapkan
gaji pegawai berdasarkan karakteristuk daerah kekuasaan masing – masing.
6. Tidak
merubah kebijakan rasullah SAW dalam masalah jizyah. Sebagaimana Rasullah Saw
Abu Bakar, RA tidak membuat ketentuan khusus tentang jenis dan kadar
jizyah, maka pada masanya, jizyah dapat berupa emas, perhiasan, pakaian,
kambing, onta, atau benda benda lainya.
7. Penerapan prinsif persamaan dalam distribusi kekayaan Negara
8. Ia memperhatikan akurasi penghitungan Zakat. Hasil penghitungan zakat dijadikan sebagai pendapatan
negara yang disimpan dalam Baitul Mal dan langsung di distribusikan seluruhnya
pada kaum muslimin. (Handbook Sharia Economics School,2011 www.pemikiran
ekonomi islam)
B.
Pada Masa
Pemerintahan Umar ibn al-Khattab(13-23 H/634-644 M)
Untuk
mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat
muslim. Abu Bakar bermusyawarah dengan para pemuka sahabat tentang calon
penggantinya. Berdasarkan hasil musyawarah tersebut, ia menunjuk Umar ibn
al-Khattab sebagain khalifah Islam ke II.Keputusan tersebut tersebut diterima
dengan baik oleh kaum muslimin. Setelah diangkat menjadi khalifah, Umar ibn
al-Khattab menyebut dirinya sebagai khalifah khalifah rasulillah (pengganti
Rasulullah). Ia juga menyebut dirinya dengan istilah Amir al-Mu’minin (Komandan
orang-orang yang beriman).
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung
selama sepuluh tahun, Umar ibn al-Khattab banyak melakukan ekspensi hingga
wilayah islam meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah
Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar ibn
al-Khattab segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh Persia.
Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan wilayah propinsi : Mekah,
Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Ia juga
memebntuk jawatan kepolisisan dan jawatan tenaga kerja. (Azyumardi Azra, 2010 : 90)
1.
Pendirian Lembaga Baitul Mal
Seiring dengan semakin
meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar ibn
al-Khattab, pendapatan negara mengalami
peningkatan yang signifikan. Hal ini, memerlukan perhatian khusus untuk
mengolahnya agar dapat dimanfaatkan secara benar, efektif, dan efisien. Cikal
bakal lembaga Baitul Mal yang telah dicetuskan
dan difungsikan oleh Rasulullah Saw dan diteruskan oleh Abu Bakar
ash-Shiddiq, semakin dikembangkan fungsinya pada masa pemerintahan Khalifah
Umar ibn al-Khattab sehingga lembaga yang reguler dan permanen.
Pada tahun 16 H,
bangunan lembaga Baitul Mal pertama kali didirikan dengan Madinah sebagai
pusatnya lalu didirikan cabang-cabang nya di ibu kota provinsi. Untuk menangani
lembaga tersebut, Khalifah Umar ibn
al-Khattab menunjuk Abdullah ibn Irqam sebagai bendahara negara dengan
Abdurrahman ibn Ubaid al-Qari sebagai wakilnya.
Khalifah Umar ibn al-Khattab juga membuat ketentuan
bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul
Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang
bertanggung jawab terhadap harta umat
tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam
melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.
Bersamaan dengan reorganisasi lembaga Batul Mal, sekaligus sebagai
perealisasian salah satu fungsi negara islam, yakni fungsi jaminan sosial,
Khalifah Umar ibn al-Khatab membentuk sitem diwan
yang, lalu dipraktekan untuk pertama
kalinya pada tahun 20 H. Lalu ia menunjuk sebuah komite nassab ternama yang terdiri dari Aqil
bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut’im untuk membuat laporan
sensus penduduk sesuai dengan kepentingan dan kelasnya, kelompok al-Sabiqun dan al-Awwalun. Kaum wanita, anak-anak dan para budak juga
mendapat tunjangan sosial.
Khalifah Umar ibn
al-Khattab berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat islam harus
diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan,
karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang dalam memperjuangkan Islam
harus dipertahankan dan di balas dengan sebaik-baiknya. Ia bertekad akan
mengubah kebijakannya tersebut apabila masih di beri kesempatan hidup.Akan
tetapi,Khalifah Umar telah tewas terbunuh sebelum rencananya terlaksana.
Untuk mendistribusikan
harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn al-Khattab mendirikan beberapa departemen
yang dianggap perlu, seperti :
a. Departemen
Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk
mendistribusikan dana bantuan pada orang –orang yang terlibat dalam
peperangan.Besarnya jumlah dana bantuan tergantung jumlah tanggungan keluarga.
b. Departemen
Kehakiman dan Eksekutif.
Departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan
eksekutif. Besarnya ditentukan oleh dua hal :
- Gaji tersebut harus memenuhi kebutuhan keluarganya.
- Gaji juga harus sama rata, bila ada perbedaan itu pun ada batasannya.
- Gaji tersebut harus memenuhi kebutuhan keluarganya.
- Gaji juga harus sama rata, bila ada perbedaan itu pun ada batasannya.
c. Departemen
Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini
mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang
menderita.( Azyumardi Azra, 2010 :91-92)
2.
Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar
ibn al-Khattab mengklasifikasikan
pendapatan
negara menjadi empat bagian, yaitu :
a. Pendapatan
zakat dan ‘ushr (pajak tanah).
Pendapatan ini sudah disimpan di Baitul Mal pusat dan di bagikan kepada delapan
ashnaf.
b. Pendapatan khums dan
sedekah. Pendapatan ini di bagikan ke
fakir miskin atau untuk mereka yang sedang mencari kesejahteraan, tidak
dipilih-pilih dia orang muslim atau bukan.
c. Pendapatan kharaj,
fai, jizyah, ‘ushr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini di
gunakan untuk dana pensiun, bantuan, menutupi biaya oprasional, kebutuhan
militer, dsb.
d. Pendapatan
lain-lain. Digunakan untuk membayar para pekerja, pemelihara anak-anak
terlantar dan dana sosial lainnya.
Diantara alokasi pendapatan Baitul Mal
tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Lalu
dana pertahanan negara dan pembangunan. Dana pensiun untuk mereka yang
bergabung di militer, dalam setahun dana ini di bayarkan dua kali. Dana
tersebut didistribusikan melalui seorang
arif yang masing-masig bertanggung jawab atas
sepuluh orang penerima dana. Sementara itu dana pertahanan negara digunakan
untuk membeli fasilitas militer, seperti perlengkapan perang, dan pembangunan
markas militer.
Dana pembangunan digunakan untuk:
Pembangunan pertanian, dan perdagangan, jaringan terowongan, dsb,yang dapat
menunjang kesejahteraan ekonomi masyarakat umum. ( Azyumardi Azra, 2010 :93-94)
Selain
hal-hal tersebut, Khalifah Umar ibn al-Khattab juga menerapkan beberapa
kebijakan ekonomi lainnya, seperti :
a. Kepemilikan
tanah.
. Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah
kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang
berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini
menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan
utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan
tanah-tanah yang berhasil ditaklukan tersebut. Para tentara dan beberapa
sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada
mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang
lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka
yang menolak, mengatakan, Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya
tidak akan raenggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang
tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik
seseorang saja.
Mayoritas
sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari daerah-daerah bekas kerajaan
Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem administrasi
yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan
yang diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut.
Wilayah
Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik muslim dan kepemilikan ini
tidak dapat digangggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah
perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan
tersebut dapat dialihkan.
a) Kharaj
dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun
pemilik tanah tersebut memeluk agama islam.dengan demikian, tanah seperti itu
tidak dapat dikonversi menjadi tamah ushr.
b) Bekas pemilik
tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah
c) Tanah yang
tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali
(seperti Bashra) bila dolah oleh kaum muslim diperlakukan sebagai tanah ushr
d) Di Sawad, kharaj
dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum
dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui
air. Harga yang lebihn tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau
cengkeh) dan perkebunan
e) Di Mesir,
berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar dua
dinar, disamping tiga irdabb gandum, dua qist untuk setiap
minyak, cuka, madu, da rancangan ini telah disetujui khalifah
f) Perjanjian
Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslim,
baban pajak untuk setiap orang sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit
berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.( Handbook
Sharia Economics School,2011
b. Zakat.
Khalifah Umar ibn al-Khattab menetapkan kuda,
karet, dan madu, sebagai objek zakat karena, pada masanya, ketiga hal itu telah
lazim di perdagangkan.
c. ‘ushr.
Khalifah Umar ibn al-Khattab menerapkan
pajak ‘ushr kepada para pedagang yang
memasuki wilayah Islam. Besarnya jumlah pajak bervariasi, 25% bagi pedagang muslim, 5% bagi kafir dzimmi, dan 10% bagi kafir harbi. Pajak ini hanya di bayar
sekali dalam setahun meskipun pedagang itu memasuki wilayah Islam lebih dari
sekali dalam setahun.
d. Mata uang.
Pada masa Khalifah Umar ibn al-khattab, bobot
mata uang dinar itu seragam, sama dengan satu mistqal atau 20 qirat atau 100 grain
barley. Sedangkan bobot dirham
tidak seragam membuat masyarakat bingung Umar ibn al-Khattab menetapkan bahwa
dirham perak seberat 14 qirat. Atau 70 grain
barley. Dengan de4mikian satu mitsqal dengan satu dirham adalah tujuh persepuluh. (Azyumardi Azra, 2010 : 93-94)
e. Sedekah
dari non muslim
Tidak
ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani
Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar
dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan suku
Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka,
tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah
membayar sedekah.
Nu'man ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima. (Handbook Sharia Economics School,2011 www.pemikiran ekonomi islam)
Nu'man ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima. (Handbook Sharia Economics School,2011 www.pemikiran ekonomi islam)
C. Pada Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan (23-35
H/644-656 M)
Berbeda halnya dengan Abu Bakar
Ash-Shiddiq dalam menentukan calon penggatinya, khalifah Umar ibn Affan, Ali
ibn Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn al-Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan
Abdurrahman ibn Auf. Ia meminta kepada tim tersebut untuk memilih salah seorang
di antara mereka sebagai penggantinya. Setelah Umar ibn Al-Khattab wafat, tim
ini melakukan musyawarah dan berhasil menunjukan Utsman ibn Affan sebagai
khalifah Islam III setelah melalui persaingan yang ketat dengan Ali ibn Abi
Thalib.
Pada masa pemerintahannya yang
berlangsung selama 12 tahun, khalifah Utsman ibn Affan berhasil melakukan
ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa,
Transoxania, dan Tabaristan. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah
Khurasan dan Iskandariah.
Pada enam tahun pertama masa
pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan baru dengan
mengikuti kebijakan Umar ibn al- Khattab. Dalam rangka pengembangan sumber daya
alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan
pembentukan organisasi kepolisisan secara permanen untuk mengamankan jalur
perdagangan. Khalifah Utsman ibn Affan juga membentuk armada laut kaum muslimin
di bawah komando Muawiyah hingga berhasil membangun supermasi kelautannya di
wilayah Mediterania. Lodica dan wilayah di semenanjung Syiria, Tripoli dan
Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama Negara Islam. Namun demikian,
pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan harus menanggung beban anggaran yang
tidak sedikit untuk memelihara angakatan laut tersebut.
Khalifah Utsman ibn Affan tidak
mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban pemereintah
dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara Negara. Hal
tersebut menimbulkan kesalahpahaman dengan Abdullah ibn Irqam, bendahara Baitul
Mal. Konflik ini tidak hanaya membuat Abdullah menolak upah dari pekerjaannya,
tetapi juga menolak hadir pada setiap pertemuan public yanag dihadiri Khalifah.
Permasalahan tersebut semakin rumit ketika muncul berbagai pernyataan
kontroversi mengenai pengeluaran harta Baitul Mal yang tidak hati-hati.
Khalifah Utsman ibn Affan tetap
mempertahankan system pemberian bantuan dan santunan serta memeberikan sejumlah
besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip
persamaan dalam memenuhi kebutuhan pikok masyarakat, ia memberikan bantuan yang
berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam pendistribusian
harta Baitul Mal, Khalifah Utsman ibn Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti
halnya Umar ibn al-khattab.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah
utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menksir harta yang dizakati kepada
para pemiliknya msiang-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari
berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh
beberapa oknum pengumpul zakat.
Untuk meningkatkan pengeluaran di bidang
pertahanan dan kelautan, meningkatkan dana pensiun, dan pembangunan berbagai
wilayah taklukan baru, Negara membutuhkan dana tambahan. Oleh karena itu,
Khalifah Utsman ibn Affan membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas dan
pergantian beberapa gubenur. Ia juga menerapkan kebijakan membagi-bagikan
tanah-tanah Negara kepada individu- individu untuk reklamasi dan kontribusi
kepada Baitul Mal. Dari hasil kebijakannya ini, Negara memperoleh pendapatan
sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham juka dibandingkan pada masa
Umar ibn al-Khattab yang tidak membagi- bagikan tanah tersebut.
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan
Utsman Ibn Affan, tidak terdapat
perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah
Utsman ibn Affan yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih
kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin. Akibatnya, pada
masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir
dengan terbunuhnya sang khalifah.( Azyumardi
Azra, 2010 :95-96)
D. Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib (35-40
H/656-661 M)
Setelah diangkat sebagai khalifah Islam
IV oleh segenap kaum muslimin, Ali ibn Abi Thalib langsung mengambil beberapa
tindakan, seperti memberhentikan para pejabat yang korupsi, membuka kembali
lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan Utsman dan
mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan Umar ibn al-Khattab.
Masa pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi
Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan
ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair ibn al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan.
Berbagai kebijakan tegas yang diterapkannya menimbulkan api permusuhan dengan
keluarga Bani Umayyah yang dimotori oleh Muawiyah ibn Abi Sofyan. Pemberontakan
juga datang dari golongan Khawariij,
mantan pendukung Khalifah Ali Ibn Abu Thalib yang kecewa terhadap keputusan tahkim
pada perang shiffin.
Sekalipun demikian, khalifah Ali ibn Abi
Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan
kesejahteraan umat islam. Menurut sebuah riwayat, ia secara sukarela menarik
diri dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal. Selama masa pemerintahannya
Khalifah Ali ibn Abi Thalib menetapkan pajak terhadap hasil hutan dan sayuran.
Selama masa pemerintahan Ali ibn Abi
Thalib, system administrasi Baitul Mal, baik diangkat pusat maupun daerah,
telah berjalan dengan baik. Kerjasama antara keduannya berjalan dengan lancer
maka pendaptaan baitul Mal mengalami
surplus. Dalam pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Ali Ibn AbinThalib
menerapkan prinsip pemerataan. Ia memberikan santunan yang sama kepada setiap
orang tanpa memandang status social atau kedudukannya di dalam Islam. Khalifah
Ali ibn Abi Thalib tetap berpendapat bahwa seluruh pendapatan Negara yang
disimpan dalam Baitul Mal harus didistribusikan kepada kaum muslimin, tanpa ada
sedikitpun dana yang tersisa. Distribusi tersebut dilakukan sekali dalam
sepekan. Hari kamis merupakan hari pendistribusian atau hari pembayaraan. Pada
hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan, pada hari sabtu penghitungan
baru dimulai. (Azyumardi Azra,
2010 : 97)
Kebijakan Ekonomi Ali Bin Ali Thallib antara
lain :
a) Mengedepankan
prinsip pemerataan dalam pendistribusian kekayaan negara kepada masyarakat.
b) Menetapkan pajak
terhadap para pemilik kebun dan mengijinkan pemungutan zakat terhadap sayuran
segar
c) Pembayaran gaji
pegawai dengan system mingguan
d) Melakukan
kontrol pasar dan pemberantas pedagang licik, penimbunan barang , dan pasar
gelap
e) Aturan
konpensai bagi para pekerja jika kereka merusak barang-barang pekerjaaannya.(Handbook Sharia Economics School,2011 www.pemikiran ekonomi islam
Kesimpulan
Tradisi yang dibangun oleh Rasulullah diteruskan dan dikembangkan
oleh para khalifah pengganti beliau. Tercatat, misalnya kebiasaan musyawarah
dalam suatu urusan yang melembaga di zaman mereka, dimulai dengan memilih Abu
Bakar Sidiq sebagai khalifah. Contoh kedua adalah ketika Khalifah Umar bin
Khattab menjelang akhir hayat membentuk sebuah lembaga yang terdiri dari beberapa
orang sahabat untuk memilih beberapa orang penggantinya.
Baitul Mal semakin mapan
bentuknya pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Pada masanya system
administrasi dan pembentukan dewan-dewan dilakukan untuk ketertiban
administrasi. Umar juga meluaskan basis zakat san sumber pendapatan lainnya.
Dilain puhak, ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan kaum Muslimin sehingga
terlahir ucapannya yang terkenal bahwa jika ada keledai yang terperosok di
Iraq ia akan ditanya oleh Tuhan mengapa ia tidak meratakan jalan tersebut.
Umar juga terkenal dengan keadilan dan ketelitiannya sehingga pengawas menjadi
lembaga berwibawa di bawah pemerintahannya. Ia turun sendiri apakah mekanisme pasar berjalan dengan
semsestinya, menegur orang yang berusaha mencari keuntungan dengan cara yang
tidak benar dan member selamat kepada para pedagang yang jujur. Umar
memberlakukan apa yang disebut dalam dunia perdagangan internasional zaman ini
sebagai principle of reciprocity dengan memberlakukan kuota kepada para
pedagang yang datang dari Persia dan Romawi, karena kedua Negara itu
memberlakukan hal yan sama kepada para pedagang di Madinah. Akan tetapi,
kebijakan fiscal Umar yang paling popular dan mendapat kritik pedas dari para
sahabat adalah ketika Iraq ditaklukan tentara Muslimin, ia tidak membagikan
tanah rampasan itu kepada tentara Muslim sebagaimana biasanya, melainkan
membiarkan di tangan penduduk setempat dan memeungut kharaj dari para
penduduk itu.
Kebijakan Umar diteruskan oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib, khalifah –khalifah berikutnya. Yang patut dicatat dalam periode ini
bahwa para khalifah itu amat serius dalam memikirkan kesejahteraan rakyat,
pendapatan dan penerimaan Baitul Mal. Funsi Baitul Mal sebagai
instrument dalam kebijakan fiscal ini tentu hanha dapat terlaksana dengan
pribadi-pribadi yang jujur dan amanah tersebut. (Velthzal Rivai, 2008 : 74)
DAFTAR ISI
Azra
Azyumaryadi,2010 sejarah pemikiran ekonomi islam.jakarta: Gramarta
Publishing
Pada hari sabtu tanggal 15 September
2012
Rivai Velthzal,2008 Islamic
Financial Management.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
Aziz Abdul,2010 Kapita selekta Ekonomi
Islam Kontemporer. Bandung: Alfabeta Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar