BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang masalah
Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang di ancam
dengan hukuman had atau ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa
sesuatu yang yang dilarang, dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut telah
dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu di anggap jarimah adalah
karena perbuatan tersebut dapat merugikan kepada tata urutan masyarakat
atau kehidupan anggota masayarakat atau pertimbangan-pertimbangan lain yang
harus dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru membawa keuntungan
ini tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’ melarang yang
namanya jarimah karena dari segi kerugiannya itulah yang di utamakan dalam
pertimbangan. Jarang kita temukan perbuatan membawa keuntungan
semata-mata atau menimbulkan kerugian semata tetapi setiap perbuatan akan
membawa akibat campuran, antara keuntungan dan kerugian, sesuai dengan
tabi’atnya manusia akan memilih banyak keuntungannya dari pada kerugiannya
meskipun akan merugikan masyarakatnya.
Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan
yang namanya unsur materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang
menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina
unsur materiilnya adalah adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam
jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang
menghilangkan nyawa seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup tiga
masalah pokok yaitu tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum
selesai atau percobaan dan turut serta dalam melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan
tersebut adakalanya telah selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena
ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak
selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع).
Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun
beberapa orang bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta
melakukan jarimah (الاءشتراك).
B. Rumusan
Masalah
a) Apa pengertian percobaan melakukan
jarimah?
b) Bagaimana pandangan fuqaha tentang
percobaan melakukan jarimah?
c) Apa saja yang termasuk fase-fase
melakukan jarimah?
d) Bagaimana dengan hukuman percobaan?
e) Bagaimana pula dengan tidak
selesainya percobaan jarimah?
C. Tujuan
a) Mengerti dan memahami pengertian
percobaan melakukan jarimah
b) Memahami pandangan fuqaha tentang
percobaan melakukan jarimah
c) Mengetahui fase-fase melakukan
jarimah
d) Mengerti hukuman percobaan melakukan
jarimah
e) Mengerti dan memahami tindakan tidak
selesainya percobaan jarimah
BAB
II
PEMBAHASAAN
A. Pengertian
Melakukan Jarimah
percobaan adalah mulai melaksanakan
suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah ), tetapi
perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada
sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak
dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir. Dimana
ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa nagara atau hakim. Untuk
menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh
syara’ atau yang dilarang oleh pengusa Negara tarsabut, diserahkan pula pada
mereka agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.[1]
B. Menurut
pandangan Fuqaha
Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di
kalangan fuqaha, bahkan istilah “percobaan” dengan pengertian tehnis-yuridis
juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah
pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai.
Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang
“percobaan” sebagaimana yang akan terlihat nanti. Tidak adanya perhatian
secara khusus terhadap jarimah percobaan
disebabkan karena dua hal khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena
dua hal:
Pertama,
percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan
dengan hukuman ta’zir, bagaimana pun juga macamnya jarimah itu. Para fuqaha
lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qiyas –diyat, karena unsur-unsur dan
syarat-syaratnya tetap tanpa mengalami perubahaan, dan hukumannya juga sudah
ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi untuk jarima-jarimah ta’zir, dengan mengecualikan
jarima-jarimah ta’zir seperti memaki-maki (menista orang atau mengkhianati
titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul-al
amri) untuk menentukan macamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan
hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau
yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula pada mereka, agar
bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi
wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman dimana ia bisa bergerak antara batas
tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah ta’zir bisa mengalami perubahan antara
dihukum dan tidak di hukum, dari masa kemasa, dan dari tempat ketempat lain,
dan unsur –unsurnya juga dapat berganti sesuai dengan pergantian pandangan
penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan fuqqaha tidak ada
perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah ta’zir dan kelanjutannya ialah tidak
adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah,
karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir
Kedua, dengan
adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara tentang hukuman jarimah ta’zir,
maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman
ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma’siat (kesalahan) yang tidak
dikenakan hukuman had atau kifarat. Dengan perkataan lain, setiap perbuatan
yang dianggap ma’siat oleh syariat dijatuhi hukuman ta’zir selama tidak
dikenakan hukuman had atau kifarat. Karena hukuman had dan kifarat hanya
dikenakan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai, maka
artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang hanya
dijatuhi hukuman ta’zir,dan percobaan itu sendiri dianggap ma’siat, yakni
jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu bagian saja di anatara
bagian-bagian lain yang membentuk
jarimah yang tidak selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang, jadi tidak
aneh kala sesuatu perbuatan semata-mata menjadi suatu jarimah,dan apabila
bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk jarimah yang lain juga.
Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah,
kemudian dapat ditangkap sebelum memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata
dianggap ma’siat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya
baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksud
hendak mencuri, tanpa melobangi dinduingnya atau manaiki atapnya, dianggap
telah memperbuat suatu jarimah tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebugt
juga pencurian yang tidak selesai[2]
C.
Fase-Fase tindak jarimah
Didalam
ajarannya para fuqoha berpendapat bahwa seseorang yang melakukan jarimah itu
setidak-tidaknya melalui tiga fase, yaitu
1.
Fase pemikiran dan perencanaan
Memikirkan
dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap ma’siat yang dijatuhi hukuman,
karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut
(dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam
dirinya, sesuai dengan sabda rosululloh s.a.w sebagai berikut:
ان لله تجا و
ز لامتلى عما عن امتى ما وسوست به صدو ر ها ما لم تعمل او تكلم
“Tuhan memaafkan
umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak
berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena
kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”.[3]
Ketentuan ini sudah terdapat dalam
syari’at islam sejak mulai diturunkannya tanpa mengenal pengecualian. Akan
tetapi, hukum positif baru mengenalnya pada akhir abad ke 18 Masehi, yaitu sesudah
revolusi Prancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap perbuatan
jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan[4]
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana
Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu
dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk
pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat daripada hukuman
pembunuhan kedua.
Menurut KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan
hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan kerja berat seumur hidup
atau sementara (fasal 230-234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum
mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan
hukuman penjara selama lamanya lima belas tahun[5].
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338 dan 340 KUH
Pidana.
a) Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
lima belas tahun.
b) Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan
direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan
pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup
atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[6]
2. Fase Persiapan
menyiapkan alat yang dipakai untuk melakukan jarimah,
seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu
untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap ma’siat yang dapat dihukum,
kecuali apabila perbuatan persiapan tersebut itu sendiri dipandang sebagai
ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam
contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap
ma’siat yang dihukum tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak
dituju, yaitu mencuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase
persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum
harus berupa perbuatan ma’siat, dan ma’siat baru terwujud apabila berisi
pelanggaran terhadap hak Tuhan dan hak manusia, sedangkan pada penyiapan
alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini
masih bisa dita’wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut syari’at
seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan
pada keyakinan.[7]
Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan
hukuman ta’zir.
Hal ini sesuai kaidah:
ان الشرو ع فى الجريمة لا يعا قب عليه
بقصا ص ولا حد وانما يعا قب عليه با لتعز ير
“Sesungguhnya perbuatan percobaan berbuat jarimah tidak
dihukum qisas atau melainkan ta’zir”.[8]
Akan tetapi menurut mazhab Hambali dan
Maliki, perbuatan persiapan dianggap sebagai perantara kepada perbuatan yang
haram dan hukumnya adalah haram, sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan
hukuman. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah: ”ibn Al
Qayyin menegaskan bahwa perantara kepada yang haram adalah haram dan perbuatan
persiapan jelas merupakan perantara kepada yang haram, sehingga hukumnya haram
dan pelakunya dikenakan hukuman tetapi bukan dengan hukuman pokoknya”.
Dengan demikian jelaslah bahwa mazhab
hambali sebagaimana digambarkan oleh Ibn Al Qayyim dan gurunya Ibn Taimiyah,
menganggap perantara kepada jarimah sebagai jarimah. Demikian juga
perbuatan-perbuatan persiapan yang disiapkan untuk membentuk dan melaksanakan
jarimah merupakan jarimah juga.[9]
3.
Fase Pelaksanaan
pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai
jarimah. Untuk dihukum tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut
merupakan permulaan pelaksanaan unsure materiil jarimah atau tidak, melainkan
cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma’siat, yaitu yang berupa
pelanggaran atas hak masyarakat atau hak perseorangan, dan dimaksudkan pula
untuk melaksanakan unsure materiil meskipun antara perbuatan tersebut dengan
unsure materiil masih terdapat beberapa langkah lagi.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu
dan sebagainya dianggap sebagai ma’siat yang dijatuhi hukuman ta’zir, dan
selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk
terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi,
seperti masuk rumah, mengambil barang, membawanya keluar dan sebagainya. Jadi
ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan
tersebut berupa ma’siat.[10]
Dengan demikian kriteria untuk
menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa
dihukum adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping itu, niat dan tujuan
pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah perbuatan itu merupakan
maksiat atau bukan
Hukum positif sama pendapatnya dengan
hukum Islam tentang tidak adanya hukuman pada fase pemikiran atau perencanaan
dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan tetapi,
sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang penentuan saat
permulaan pelaksanaan tindak pidana itu.
Sedangkan menurut aliran objektif, saat
tersebut adalah ketika pelaku melaksanakan perbuatan mareriil yang membentuk
suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan juga maka
percobaan jarimah itu adalah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah
tersebut terdiri dari dari beberapa perbuatan maka memulai salah satunya
dianggap melakukan perbuatan jarimah tersebut.
Sedangkan
menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila
pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan kekuatan
maksudnya untuk melakukan kejahatan.[11]
D. Hukuman
Percobaan
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah hudud
dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan
jarimah-jarimah yang belum selesai. Aturan tersebut berdasarkan hadits nabi
s.a.w:
من بلغ حد ا غير حد فهو من المعتد ين
Siapa yang mewncapai hukuman had
bukan pada jarimah hudud (yang lengkap) maka dia termasuk orang yang
menyeleweng”[12]
Oleh karena itu percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum
dengan hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan zina sendiri yaitu jilid dan rajam. Demikian pula hukuman percobaan
pencurian tidak bisa dipersamakan dengan dengan pencurian itu sendiri, yaitu
potong tangan, sebab hukuman potong tangan dijatuhkan atas jarimah yang telah
selesai.
Sudah barang tentu perbedaan antara percobaan melakukan
suatu jarimah dengan jarimah itu sendiri masih jauh, dan oleh karena itu sudah
sepantasnya kalau pembuat dijatuhi hukuman sesuai dengan besarnya perbuatan.
Apabila mempersamakan hukuman antara percobaan jarimah dengan jarimah yang
selesai , maka akan mendorong pembuat suatu jarimah untuk menyelesaikannya
sekali, sebab ia akan merasa bahwa dirinya sudah berhak akan hukum lengkap
dengan memulainya perbuatan, oleh karena itu ia tidak perlu mengurungkan perbuatannya
itu.[13]
Meskipun demikian kita dapat mempersamakan percobaan
melakukan jarimah ta’zir kepada percobaan melakukan jarimah hudud dan qisas.
Oleh harena itu aturan tersebut diatas yakni tidak adanya persamaan hukuman
antara jarimah percobaan dengan jarimah lengkap, berlaku pula atas
jarimah-jarimah ta’zir.
E.
Tidak Selesainya Percobaan
Seseorang pembuat yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya
dapat menyelesaikannya atau tidak dapat
menyelesaikannya. Kalau dapat menyelesaikannya maka sudah sepantasnya ia
dijatuhkan hukuman yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Kalau tidak adapat
menyelesaikannya maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendak dirinya
sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena kehendak sendiri maka adakalanya
disebabkan karena ia bertaubat dan menyesal serta kembali kepada Tuhan,atau
disebabkan karena sesuatu diluar taubat dan penyesalan diri, misalnya karena kekurangan alat-alat atau khawatir terlihat orang lain,
atau kehendak mengajak temannya terlebih dahulu.
Tidak selesai karena Taubat
Perbuatan jarimah yang diurungkan (tidak diselesaikan)
adakalanya berupa jarimah ‘’hirabah’’ (pembegalan/penggarongan) atau
jarimah-jarimah lain. Apabila berupa jarimah hibarah maka pembuat tidak
dijatuhi hukuman atas apa yang telah di pertbuatnya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah surat Al-Maidah ayat 34:
wÎ) úïÏ%©!$# (#qç/$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍkön=tã ( (#þqßJn=÷æ$$sù cr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ
Artinya:
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Kalau paar
fuqaha sudah sepakat pendapatnya tentang hapusnya hukuman atas jarimah hibarah,
karena tauabat dan penyesalan yang dinyatakan sebelum tertangkap, maka mereka
masih memperselisihkan tentang pengaruh taubat dan penyesalan tersebut pada
jarimah-jarimah selain hibarah. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1)
Pendapat
fuqaha dari mazhab syafi’I dan mazhab hambali yang mengatakan bahwa taubat bisa
dihapuskan hukuman
a)
Al-Quran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah,
sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat
menghapuskan hukuman untuk jarimah yang paling berbahaya maka lebih-lebih untuk
jarimah yang lain.
b) Dalam menyebutkan beberapa jarimah,
Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan
hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang pertama kali diadakan dalam surah
An-Nisaa’ 16:
Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uÏ?ù't öNà6ZÏB $yJèdrè$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊÌôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ
Artinya: dan terhadap dua orang yang melakukan
perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian
jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
2) Menurut Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk jarimah hirabah yang
sudah jelas ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah sebagai kifarat
maksiat penebus (kesalahan). Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat
hukuman dapat terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab
setiap pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat. Jadi menurut
pendapat kedua tersebut pengehentian pembuat untuk meneruskan jarimahnya,
meskipun karena dorongan taubat dan kesadaran diri, tidak menghapuskan hukuman,
apabila perbuatannya telah cukup disebut ma’siat.
3) Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al
Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat membersihkan maksiat dan
taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah yang berhubungan dengan
hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku minta untuk di hukum maka ia
bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim
kelihatanya merupakan jalan tengan yang mengompromikan pendapat pertama dan
kedua yang saling bertentangan. Walaupun demikian pengaruh taubat terhadap
hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam jarimah yang
menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah yang menyinggung hak
individu taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman
BAB III
KESIMPULAN
Percobaan adalah mulai melaksanakan
suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah ), tetapi
perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada
sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak
dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir
Menurut pandangan fuqaha :
Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak
dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir.
Kedua, khusus untuk percobaan melakukan jarimah tidak
perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma’siat
(kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Fase-Fase Pelaksanaan jarimah:
1.
Fase pemikiran dan perencanaan
2.
Fase persiapan
3.
Fase pelaksanaan
Hukuman percobaan
Menurut aturan syari’at islam, untuk
jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh
dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang belum selesai.
Tidak selesainya percobann
Kalau tidak adapat menyelesaikannya
maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendak dirinya sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Munajat,Makhrus,hukum
pidana islam diindonesia, yogyakarta: teras 2009
Hanafi,Ahmad,
Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Yogyakarta:Bulan Bintang,1968
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum
Pidana Islam,Jakarta : Sinar
Grafida 2004
Djazuli, A
,Fiqih jinayah upaya-upaya menanggulangi kejahatan dalam islam,Jakarta:PT.
raja grafindo persada, 1997
[1] Makhrus munajat, hukum pidana islam diindonesia, (yogyakarta:
teras 2009), hal 42
[2] Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Yogyakarta:
Bulan Bintang,1968), hal 119-120
[3]
Ibid hal 121
[5]
Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Yogyakarta:
Bulan Bintang,1968, hal 122
[6] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas
Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafida 2004 Hlm. 62
[8] Makhrus munajat, hukum pidana islam di Indonesia, hal
47
[9] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas
Hukum Pidana Islam, Hlm. 63
[10]
Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana
Islam,(Yogyakarta: Bulan Bintang,1968), hal 123
[11]
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas
Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafida 2004 Hlm. 64
[12]
A. djazuli, f iqih jinayah (upaya-upaya menanggulangi
kejahatan dalam islam),(Jakarta:PT. raja grafindo persada, 1997) hal. 23
[13]
Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana
Islam,(Yogyakarta: Bulan Bintang,1968), hal 126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar