Kamis, 14 Februari 2013

fiqh jinayah


BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang masalah
Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang di ancam dengan hukuman had atau ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang yang dilarang, dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu di anggap jarimah adalah karena perbuatan tersebut dapat merugikan  kepada tata urutan masyarakat atau kehidupan anggota masayarakat atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru membawa keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’ melarang yang namanya jarimah karena dari segi kerugiannya itulah yang di utamakan dalam pertimbangan. Jarang kita temukan perbuatan membawa keuntungan semata-mata  atau menimbulkan kerugian semata tetapi setiap perbuatan akan membawa akibat campuran, antara keuntungan dan kerugian, sesuai dengan tabi’atnya manusia akan memilih banyak keuntungannya dari pada kerugiannya meskipun akan merugikan masyarakatnya.
Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan yang namanya unsur materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur materiilnya adalah adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang menghilangkan nyawa seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup  tiga masalah pokok yaitu tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan dan turut serta dalam melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع). Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah (الاءشتراك).

B.     Rumusan Masalah
a)      Apa pengertian percobaan melakukan jarimah?
b)      Bagaimana pandangan fuqaha tentang percobaan melakukan jarimah?
c)      Apa saja yang termasuk fase-fase melakukan jarimah?
d)     Bagaimana dengan hukuman percobaan?
e)      Bagaimana pula dengan tidak selesainya percobaan jarimah?

C.    Tujuan
a)      Mengerti dan memahami pengertian percobaan melakukan jarimah
b)      Memahami pandangan fuqaha tentang percobaan melakukan jarimah
c)      Mengetahui fase-fase melakukan jarimah
d)     Mengerti hukuman percobaan melakukan jarimah
e)      Mengerti dan memahami tindakan tidak selesainya percobaan jarimah














BAB II
PEMBAHASAAN

A.    Pengertian Melakukan Jarimah
percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah ), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir. Dimana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa nagara atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh pengusa Negara tarsabut, diserahkan pula pada mereka agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.[1]
B.     Menurut pandangan Fuqaha
Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan fuqaha, bahkan istilah “percobaan” dengan pengertian tehnis-yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang “percobaan” sebagaimana yang akan terlihat nanti. Tidak adanya perhatian secara  khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal:
Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir, bagaimana pun juga macamnya jarimah itu. Para fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud  dan qiyas –diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syaratnya tetap tanpa mengalami perubahaan, dan hukumannya juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi untuk jarima-jarimah ta’zir, dengan mengecualikan jarima-jarimah ta’zir seperti memaki-maki (menista orang atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul-al amri) untuk menentukan macamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula pada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah ta’zir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak di hukum, dari masa kemasa, dan dari tempat ketempat lain, dan unsur –unsurnya juga dapat berganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan fuqqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah ta’zir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir
Kedua, dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma’siat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Dengan perkataan lain, setiap perbuatan yang dianggap ma’siat oleh syariat dijatuhi hukuman ta’zir selama tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta’zir,dan percobaan itu sendiri dianggap ma’siat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu bagian saja di anatara bagian-bagian  lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang, jadi tidak aneh kala sesuatu perbuatan semata-mata menjadi suatu jarimah,dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk jarimah yang lain juga.
Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap ma’siat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksud hendak mencuri, tanpa melobangi dinduingnya atau manaiki atapnya, dianggap telah memperbuat suatu jarimah tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebugt juga pencurian yang tidak selesai[2]
C.    Fase-Fase tindak jarimah
Didalam ajarannya para fuqoha berpendapat bahwa seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui tiga fase, yaitu
1.      Fase pemikiran dan perencanaan
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap ma’siat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan sabda rosululloh s.a.w sebagai berikut:
ان لله تجا و ز لامتلى عما عن امتى ما وسوست به صدو ر ها ما لم تعمل او تكلم
 “Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”.[3]
Ketentuan ini sudah terdapat dalam syari’at islam sejak mulai diturunkannya tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi, hukum positif baru mengenalnya pada akhir abad ke 18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan[4]
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat daripada hukuman pembunuhan kedua.
Menurut KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan kerja berat seumur hidup atau sementara (fasal 230-234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima belas tahun[5].
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338 dan 340 KUH Pidana.
a)      Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
b)      Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[6]

2.      Fase Persiapan
menyiapkan alat yang dipakai untuk melakukan jarimah, seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap ma’siat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan tersebut itu sendiri dipandang sebagai ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap ma’siat yang dihukum tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu mencuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan ma’siat, dan ma’siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan dan hak manusia, sedangkan pada penyiapan alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini masih bisa dita’wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut syari’at seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan pada keyakinan.[7] Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta’zir.


Hal ini sesuai kaidah:
ان الشرو ع فى الجريمة لا يعا قب عليه بقصا ص ولا حد وانما يعا قب عليه با لتعز ير
“Sesungguhnya perbuatan percobaan berbuat jarimah tidak dihukum qisas atau melainkan ta’zir”.[8]
Akan tetapi menurut mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan dianggap sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan hukumnya adalah haram, sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan hukuman. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah: ”ibn Al Qayyin menegaskan bahwa perantara kepada yang haram adalah haram dan perbuatan persiapan jelas merupakan perantara kepada yang haram, sehingga hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman tetapi bukan dengan hukuman pokoknya”.
Dengan demikian jelaslah bahwa mazhab hambali sebagaimana digambarkan oleh Ibn Al Qayyim dan gurunya Ibn Taimiyah, menganggap perantara kepada jarimah sebagai jarimah. Demikian juga perbuatan-perbuatan persiapan yang disiapkan untuk membentuk dan melaksanakan jarimah merupakan jarimah juga.[9]

3.      Fase Pelaksanaan
pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsure materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma’siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat atau hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsure materiil meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsure materiil masih terdapat beberapa langkah lagi.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai ma’siat yang dijatuhi hukuman ta’zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang, membawanya keluar dan sebagainya. Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa ma’siat.[10]
Dengan demikian kriteria untuk menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa dihukum adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping itu, niat dan tujuan pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah perbuatan itu merupakan maksiat atau bukan
Hukum positif sama pendapatnya dengan hukum Islam tentang tidak adanya hukuman pada fase pemikiran atau perencanaan dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan tetapi, sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang penentuan saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu.
Sedangkan menurut aliran objektif, saat tersebut adalah ketika pelaku melaksanakan perbuatan mareriil yang membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan juga maka percobaan jarimah itu adalah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa perbuatan maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah tersebut.
 Sedangkan menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan kekuatan maksudnya untuk melakukan kejahatan.[11]

D.    Hukuman Percobaan
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang belum selesai. Aturan tersebut berdasarkan hadits nabi s.a.w:
من بلغ حد ا غير حد فهو من المعتد ين
Siapa yang mewncapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang lengkap) maka dia termasuk orang yang menyeleweng”[12]
Oleh karena itu percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan zina sendiri yaitu jilid dan  rajam. Demikian pula hukuman percobaan pencurian tidak bisa dipersamakan dengan dengan pencurian itu sendiri, yaitu potong tangan, sebab hukuman potong tangan dijatuhkan atas jarimah yang telah selesai.
Sudah barang tentu perbedaan antara percobaan melakukan suatu jarimah dengan jarimah itu sendiri masih jauh, dan oleh karena itu sudah sepantasnya kalau pembuat dijatuhi hukuman sesuai dengan besarnya perbuatan. Apabila mempersamakan hukuman antara percobaan jarimah dengan jarimah yang selesai , maka akan mendorong pembuat suatu jarimah untuk menyelesaikannya sekali, sebab ia akan merasa bahwa dirinya sudah berhak akan hukum lengkap dengan memulainya perbuatan, oleh karena itu ia tidak perlu mengurungkan perbuatannya itu.[13]
Meskipun demikian kita dapat mempersamakan percobaan melakukan jarimah ta’zir kepada percobaan melakukan jarimah hudud dan qisas. Oleh harena itu aturan tersebut diatas yakni tidak adanya persamaan hukuman antara jarimah percobaan dengan jarimah lengkap, berlaku pula atas jarimah-jarimah ta’zir.
E.     Tidak Selesainya Percobaan
Seseorang pembuat yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya dapat  menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalau dapat menyelesaikannya maka sudah sepantasnya ia dijatuhkan hukuman yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Kalau tidak adapat menyelesaikannya maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendak dirinya sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena kehendak sendiri maka adakalanya disebabkan karena ia bertaubat dan menyesal serta kembali kepada Tuhan,atau disebabkan karena sesuatu diluar taubat dan penyesalan diri, misalnya karena kekurangan  alat-alat atau khawatir terlihat orang lain, atau kehendak mengajak temannya terlebih dahulu.
Tidak selesai karena Taubat
Perbuatan jarimah yang diurungkan (tidak diselesaikan) adakalanya berupa jarimah ‘’hirabah’’ (pembegalan/penggarongan) atau jarimah-jarimah lain. Apabila berupa jarimah hibarah maka pembuat tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah di pertbuatnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Maidah ayat 34:
žwÎ) šúïÏ%©!$# (#qç/$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍköŽn=tã ( (#þqßJn=÷æ$$sù žcr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ  
Artinya: kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kalau paar fuqaha sudah sepakat pendapatnya tentang hapusnya hukuman atas jarimah hibarah, karena tauabat dan penyesalan yang dinyatakan sebelum tertangkap, maka mereka masih memperselisihkan tentang pengaruh taubat dan penyesalan tersebut pada jarimah-jarimah selain hibarah. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1)      Pendapat fuqaha dari mazhab syafi’I dan mazhab hambali yang mengatakan bahwa taubat bisa dihapuskan hukuman
a)      Al-Quran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk jarimah yang paling berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b)      Dalam menyebutkan beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang pertama kali diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16:
Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uŠÏ?ù'tƒ öNà6ZÏB $yJèdrèŒ$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊ̍ôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$Ÿ2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ  
Artinya:  dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
2)      Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk jarimah hirabah yang sudah jelas ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah sebagai kifarat maksiat penebus (kesalahan). Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman dapat terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat. Jadi menurut pendapat kedua tersebut pengehentian pembuat untuk meneruskan jarimahnya, meskipun karena dorongan taubat dan kesadaran diri, tidak menghapuskan hukuman, apabila perbuatannya telah cukup disebut ma’siat.
3)      Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku minta untuk di hukum maka ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengan yang mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun demikian pengaruh taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah yang menyinggung hak individu taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman


BAB III
KESIMPULAN

Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah ), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir
Menurut pandangan fuqaha :
Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir.
Kedua,  khusus untuk percobaan melakukan jarimah tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma’siat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Fase-Fase Pelaksanaan jarimah:
1.      Fase pemikiran dan perencanaan
2.      Fase persiapan
3.      Fase pelaksanaan
Hukuman percobaan
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang belum selesai.
Tidak selesainya percobann
Kalau tidak adapat menyelesaikannya maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendak dirinya sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Munajat,Makhrus,hukum pidana islam diindonesia, yogyakarta: teras 2009
Hanafi,Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Yogyakarta:Bulan Bintang,1968
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Sinar Grafida 2004
 Djazuli, A ,Fiqih jinayah upaya-upaya menanggulangi kejahatan dalam islam,Jakarta:PT. raja grafindo persada, 1997












[1] Makhrus munajat, hukum pidana islam diindonesia, (yogyakarta: teras 2009), hal 42
[2] Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Yogyakarta: Bulan Bintang,1968), hal 119-120
[3] Ibid hal 121
[4] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Sinar Grafida 2004 Hlm. 61
[5] Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Yogyakarta: Bulan Bintang,1968, hal 122

[6] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafida 2004 Hlm. 62
[7] Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Yogyakarta: Bulan Bintang,1968), hal 122

[8] Makhrus munajat, hukum pidana islam di Indonesia, hal 47
[9] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 63

[10] Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Yogyakarta: Bulan Bintang,1968), hal 123
[11] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafida 2004 Hlm. 64
[12] A. djazuli, f iqih jinayah (upaya-upaya menanggulangi kejahatan dalam islam),(Jakarta:PT. raja grafindo persada, 1997) hal. 23
[13] Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Yogyakarta: Bulan Bintang,1968), hal 126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar