BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang telah
diketahui, bahwa proses kodifikasi Al-Qur’an pada masa khalifah Usman berada
pada titik kritis kemanusiaan sesama muslim karena terjadi saling menyalahkan
antara aliran qira’at yang satu dengan aliran qira’at lainnya,
bahkan di antara mereka hampir saling mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada
khalifah Usman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai
daerah sehingga mengakibatkan kurang lancarnya komunikasi intelektual diantara
mereka. Adanya pengklaiman qira’atnya paling benar dan qira’at orang
lain salah merambah dimana-mana.
Hal ini menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Situasi demikian
sangat mencemaskan Khalifah Usman. Untuk itu ia mengundang para sahabat
terkemuka untuk mengatasinya. Akhirnya dicapai kesepahaman agar mushaf yang
ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang disimpan di rumah Hafsah
disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Hasil penyalinan ini dikirim ke
berbagai kota, untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama sewaktu
terjadi perselisihan sistem qira’at. Sementara itu, Khalifah Usman
memerintahkan untuk membakar mushaf yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi
pada masanya yang dikenal dengan nama Mushaf Imam. Kebijakan khalifah Usman ini
di satu sisi merugikan karena menyeragamkan qira’at yakni dengan lisan
Quraish (dialek orang-orang Quraish), namun disisi lain lebih menguntungkan
yakni umat Islam bersatu kembali setelah terjadi saling menyerang dan
menyalahkan antara satu dengan yang lain.
Berkenaan dengan
keadaan di atas, maka pada pertengahan kedua di abad I H, dan pertengahan awal
di abad II H, para ahli qira’at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi
berbagai sistem qira’at Al-Qur’an yang berkembang pada saat itu.
Hasilnya, tujuh sistem qira’at Al-Qur’an yang berhasil dipopulerkan dan
dilestarikan oleh mereka, dinilai sebagai tergolong mutawatir yang bersumber
dari Nabi saw. Inilah yang dikenal dengan sebutan qira’at sab’at (qira’at
tujuh). Sehingga pada masa berikutnya para mufassir memandang perlunya
dimasukkan ilmu qiraah dalam ulumul Qur’an.
Karena dengan adanya perbedaan dalam pembacaan Al-Qur’an, menimbulkan perbedaan
pula dalam mengistimbatkan hukum yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Sehingga menjadi bahan pertimbangan para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Oleh karena itulah, tergerak hati kami untuk menyusun makalah mengenai qira’ah
selain sebagi tugas, juga karena ilmu ini memilki urgensi dalam mengistimbatkan
hukum islam.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang diatas maka penyusun
akan merumuskan masalah sebagai berikut.
1.
Apa pengertian qira’at?
2.
Bagaimana Latar belakang timbulnya Perbedaan qira’at?
3.
Bagaimana pendapat tentang qira’at Al-Quran?
4.
Apa saja yang termasuk bentuk-bentuk qira’at Al-Quran?
5.
Bagaimana kaitan antara rasm dan qira’at Al-Quran?
6.
Bagaimana urgensi mempelejari urgensi qira’at Al-Quran dan
pengaruh dalam istinbath (penetapan) hukum?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian qira’at Al-Quran
2. Mengetahui dan memahami latar belakang timbulnya qira’at
Al-Quran
3. Mnegetahui tentang pendapat qira’at Al-Quran
4. Mengetahui bentuk – bentuk yang termasuk dalam qira’at
Al-Quran
5. Mengetahui dan memahami kaitan antara rasm dan
qira’at Al-Quran
6. Menegtahui dan memahami uregensi mempelajari qira’at
Al-Quran san pengaruh istinbath (penetapan) hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Qira’at Al -Quran
Berdasarkan
pengertian etimologi (bahasa), qira’at merupakan kata jadian (mashdar)
dari kata qara’a (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi
(istilah).[1]
Tiga unsur definisi qira’at yaitu:[2]
1. Qira’at berkaitan dengan cara
pelafalan ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda
dengan cara yang dilakukan imam - imam lainnya.
2. Cara
pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung
kepada Nabi. Jadi,bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang
lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzat i’rab,
isbat, fashl, dan washl.
B.Latar Belakang
Timbulnya perbedaan Qira’at[3]
1. Latar
Belakang Historis
Qira’at sebenarnya
telah muncul semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat
itu qira’at bukan
merupakan sebuah disiplin ilmu.
Ada beberapa riwayat yang
dapat mendukung asumsi tersebut diantaranya:
Pertama: Suatu ketika ’Umar bin Al-Khathab berbeda pendapat
dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhadap
bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam
tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun,
Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat,
Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa tersebut. Nabi menyuruh
Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya,
Nabi bersabda :”Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya Al-Qur’an
ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian
anggap mudah dari tujuh huruf itu”.
Kedua: Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya masuk
ke masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca
surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai,
saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?”Ia menjawab,
”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan shalat dengan
membaca permulaan surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya
dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya,” Siapakah yang
membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu
lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi,
beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu.
Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada
yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik.”[4]
Menurut
catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal II
H. Tatkala para qari sudah tersebar diberbagai pelosok. Qira’at-qira’at tersebut
diajarkan secara turun termurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para
imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
Kebijakan
Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang
telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu
Musa Al Asy’ari, Miqdad bin Amar, Ubay bin Ka’ab.Ali Bin Abi Thalib, mempunyai
andil besar dalam kemunculan qira’at yang kian beragam. Perlu dicatat
bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan
kawan-kawannya, kecuali pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian
bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena
mushaf-mushaf itu merupakan catatn pribadi mereka masing masing.
Adanya
mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaraan para qari ke berbagai penjuru,
pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qira’at
yang semakin beragam. Lebih–lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan
aktulurasi akibat bersentuhan dengan bangsa–bangsa bukan Arab sehingga pada
akhirnya perbedaan qira’at itu sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al
Yamamah yang dan yang kemudian dilaporkan kepada ‘Ustman.
Di
antara ulama-ulama yang berjasa meneliti dan membersihkan qira’at dari
berbagai penyimpangan adalah:
1.
Abu ‘Amr ‘Utsman
bin Sa’id bin ‘Utsman bin Sa’id Ad-Dani (w.444 H.), dari Daniyyah,
Andalusia,Spanyol, dalam karyanya yang berjudul At-Taisir.
2.
Abu Al-‘Abbas
Ahmad bin ‘Imarah bin Abu Al-‘Abbas Al-Mahdawi (w.430 H.), dalam karyanya yang
berjudul Kitab Al-Hidayah.
3.
Abu Al-Hasan
Thahir bin Abi Thayyib bin Abi Ghalabun Al-Halabi (w. 399 H.), seseorang
pendatang di Mesir, dalam karyanya yang berjudul At-Tadzkirah.
4.
Abu Muhammad
Makki bin Abi Thalib Al-Qairawani (w. 437 H.) Di Cordova, dalam karyanya yang
berjudul At-Tabshirah.
5.
Abu Al-Qasim
‘Abdurrahman bin Isma’il, terkenal dengan sebutan Abu Syamah, dalam karyanya
yang berjudul Al-Mursyid Al-Wajiz.
Abu Syamah dipandang sebagai orang yang
pertama kali berpendapat bahwa bacaan yang sesuai dengan bahasa Arab walaupun
hanya satu segi dan sesuai dengan mushaf Imam (Mushaf ‘Utsmani), serta sahih
sanadnya, adalah bacaan yang benar, tidak boleh ditolak. Jika kurang salah satu
dari syarat-syarat itu, qira’at itu lemah atau syadz (aneh) atau
batil.
Sesudah itu, para imam menyusun
kitab-kitab mengenai qira’at. Orang yang pertama kali menyusun kitab-kitab
mengenai qira’at dalam satu kitab adalah Abu ‘Ubaidillah Al-Qasim bin
Salam (w. 224 H). Ia telah mengumpulkan qira’at sebanyak kurang lebih 25
macam. Kemudian, menyusullah imam-imam lainya. Di antara mereka, ada yang
menetapkan 20 macam; dan ada pula yang menetapkan di bawah bilangan itu. Persoalan
qira’at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin
Mujahid, yang terkenal dengan nama Ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas
menjadi tujuh macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang
disesuaikan dengan tujuh imam qa’ri.[5]
Inisiatif Ibn Mujahid itu sempat
memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama. Ibn Ammar mencela keras Ibn
Mujahid dan mengatakannya telah berbuat
sesuatu yang tidak layak baginya. Ia dituduh telah mengaburkan persoalan dengan
mengatakan bahwa qira’at yang tujuh itu adalah yang disebut dalam hadis
Nabi (inna hadza al quran unzula’ala sab’at ahruf). [6]Namun,
berkat jasa Ibn Mujahid, kita dapat mengetahui mana qira’at yang dapat
diterima dan mana yang ditolak.
2. Latar
Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al- Ada)
Menurut
analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qira’at itu
bermula dari cara seorang guru membacakan qira’at itu pada murid
muridnya. Beberapa ulama mencoba merangkum bentuk- bentuk perbedaan cara
melafalkan Al-Quran itu sebagai berikut :
a.
Perbedaan dalam i’rab
atau harakat kalimat tanpa perubahan makna makna dan bentuk kalimat. Misalnya pada firman Allah:
tûïÏ%©!$# tbqè=yö7t tbrâßDù'tur Z$¨Y9$# È@÷ç7ø9$$Î/ …
37.
(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir
Kata Al-bakhl yang berarti kikir disini
dapat dibaca Fathah pada huruf ba’ nya sehingga dibaca ‘’bi
al-bakhli’’ dapat pula dibaca dhammah pada ba’nya sehingga menjadi ‘’bi
al-bukhli’’
b.
Perbedaan pada i’rab
dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya. Misalnya pada firman Allah :
$uZ/u ôÏè»t/ tû÷üt/ $tRÍ$xÿór& ÇÊÒÈ
19.
"Ya Tuhan Kami jauhkanlah jarak perjalanan kami
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah
adalah ba’id karena statusnya sebagai fi’il amr; boleh juga dibaca ba’ada
yang berarti kedudukannya menjadi fi’il madhi, sehingga artinya telah
jauh
c.
Perbedaan pada
perubahan huruf antara perubahan i’rab
dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah. Misalnya firman Allah:
÷ÝàR$#ur n<Î) ÏQ$sàÏèø9$# y#ø2 $ydãų^çR …..
259.
dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya
kembali..
Kata nunsyizuha (kami menyusun
kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf zay (ز) diganti dengan huruf ra (ر) sehingga menjadi berbunyi nunsyiruha yang berarti “kami
hidupkan kembali”
d.
Perubahan pada
kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah.Misalnya
pada firman Allah :
ãbqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$2 Â\qàÿZyJø9$# ÇÎÈ
5. dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang
dihambur-hamburkan.
Beberapa qira’at mengganti kata ka’’al-‘ihin’’
dengan ka’’ash-shufi’’ sehingga yang mulanya bermakna ‘’bulu-bulu’’
berubah menjadi ‘’bulu-bulu domba’’. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma’
ulama tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan mushaf Utsmani
e.
Perbedaan pada
kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada ungkapanطلع منضض menjadi طلح منضض
f. Perbedaan
pada mendahulukan dan mengakhirkannya.
g. Perbedaan
dengan menambah dan mengurangi huruf. Misalnya pada firman Allah:
;M»¨Yy_ ÌøgrB `ÏB $ygÏFøtrB ã»yg÷RF{$# (
25. surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya
Kata min pada ayat ini dibuang. Dan pada
ayat serupa yang tanpa min justru ditambah.
B.
Pendapat Tentang Qira’at Al-Quran
a.
Menurut Az-Zarqani: ‘’Sesuatu madzhab yang dianut
seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Quran
serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya,baik perbedaan itu dalam
pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya.’’
b.
Menurut Ibn Al-Jazari: ‘’ Ilmu yang menyangkut
cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan perbedaan-perbedaannya dengan cara
menisbatkan kepada penukilnya.’’
c.
Menurut Al-Qasthalani: ‘’sesuatu ilmu yang mempelajari
hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan
lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh
secara periwayatan.’’
d.
Menurut Az-Zarkasyi: ‘’Qira’at adalah perbedaan (cara
mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara
pengucapanhuruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan),
dan atau yang lainnya.’’
e.
Menurut Ash-Shabuni: ‘’Qira’at adalah suatu mazdhab
cara pelafalan Al-Quran yang dianut salah seorang imam berdasarkan snad-sanad
yang bersambung kepada Rasulullah SAW.’’
C.Bentuk-
Bentuk Qira’at Al--Quran
1.
Dari
segi kuantitas
a. Qira’ah Sab’ah (Qira’ah
Tujuh).
Maksud sa’bah adalah imam- imam qira’at
yang tujuh, mereka adalah
· Abdullah
bin Katsir Ad-Dari berasal dari Mekah
· Nafi’bin
Abdurrahman bin Abu Na’im dari Madinah
· Abdullah
Al- Yahshibi, terkenal dengan Abu’Amir Ad- Dimasyqi dari syam
· Abu’Amar
dari Bashrah,irak
· Ya’qub
dari bashrah,irak
· Hamzah,
nama lengkapnya adalah Ibn habib Az-Zayyat
· Ashim.nama
lengkapnya Ashim adalah Ibn Abi An-Najud Al-Abdullah bin Mas’ud
b. Qira’at’Asyarah (Qira’at
sepuluh).
Yang dimaksud qira’at sepuluh
adalag qira’at tujuh yang telah disebutkan diatas tambah dengan qira’at
berikut:
· Abu
Ja’far, nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qa’qa Al Makhzumi Al- Madani
· Ya’qub,
nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin’Abdullah bin Abu Ishaq
Al-Bashri
· Khalaf
bin Hisyam, nama lengkapnya adalah Abu Muhamad Khalaf bin Hisyam bin tsa’lab
Al-Bazzaz Al-baghadadi.
c. Qira’at’Arba’at asyrah (Qira’at
Empat Belas)
Yang dimaksud qira’at empat belas adalah qira’at
sepuluh yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qira’at
sebagai berikut:
· Al-Hasan
Al-Bashri. Salah seorang tabiin besar yang terkenal kezahidannya
· Muhammad
bin’Abdirrahman,yang dikenal dengan nama Ibn
Mahishan. Ia adalah guru Abi’Amr
· Yahya’bin
Al-Mubarak Al-Yazidi An- Nahwi Al-Baghdadi.Ia mengambil qira’at dari
Abi’Amr dan Hamzah
· Abu
Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz
2.
Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at
dapat dikelompokan dalam lima bagian:[7]
· Qira’ah mutawatir, yakni yang
disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin
bersepakat untuk berbuat dusta.umumnya, qira’ah yang ada masuk ke dalam bagian
ini.
· Qira’ah masyhur, yakni yang memiliki sanad
sahih, tetapi tidak sampai kualitas mutawatir,sesuai dengan kaidah bahasa arab
dan tulisan mushaf ‘ustmani, masyhur di kalangan qurra’, dibaca sebaimana ketentuan yang
telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan
menyimpang.Umpamanya,qira’ah dari imam tujuh yang disampaikan melalui
jalur yang berbeda-beda. Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lain tidak.
Qira’ah semacam ini banyak
digambarkan dalam kitab-kitab qira’ah , misalnya at-Taisir karya
Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syathibi, Au’iyyah An-Nasyr fi Al-Qira’ah Al-Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari).
· Qira’ah ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan
mushaf ‘Utsmani
dan kaidah bahasa Arab, tidak memiliki kemasyhuran, dan tidak dibaca
sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
· Qira’ah syadz(menyimpang), yakni
yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at
ini.
· Qira’at maudhu (palsu), seperti
qira’at Al-Khazzani.Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at yang ke
enam yaitu:
· Qura’at yang menyerupai hadis mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan
pada bacaan dengan tujuan penafsiran.
Tolak
ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at sahih adalah
sebagai berikut:[8]
a)
Bersesuaian
dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih.
b)
Bersesuaian
dengan salah satu kaidah penulisan mushaf ‘Utsmani walaupun hanya kemungkinan (ihtimah).
c)
Memiliki sanad
yang shahih
D. Kaitan Antara Rasm dan Qira’at
Al -Quran
Meskipun mushaf Utsmani tetap
dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam
diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga
perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri
pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang
hampir sama dan belum ada baris harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan
bahwa keberadaan mushaf ‘Ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih
membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di
buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul
Qur’an dengan qira’at sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang
dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap
pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi
permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan
yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an
dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca
ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.[9]
E. Urgensi Mempelajari Qira’at
dan Pengaruhnya Dalam Istinbath (Penetapan) Hukum
1.Urgensi
Mempelajari Qira’at
·
Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah
disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-nisa’[4] ayat 12, para
ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan
dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perenpuan seibu saja.
Dalam qira’at syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan ‘’min
umm’’.
bÎ)ur c%x. ×@ã_u ß^uqã »'s#»n=2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4
12. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta
Dengan
demikian, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqash dapat memperkuat dan mengukuhkan
ketetapan hokum yang telah disepakati.
·
Dapat men-tarjih hukum yang diperselisihkan para
ulama. Misalnya, dalam surat Al-Ma’idah [5] ayat 89, disebutkan bahwa kifarat
sumpah adalah berupa memerdekakan budak. Namun, tidak disebutkan apakah
budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung perebedaan pendapat
dikalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh
tambahan mu’minatin.
ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) Íou|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3Î=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ãÌøtrB 7pt6s%u مؤ منة
89.
Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin,
Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak mukmin
Tambahan
kata mu’minatin berpungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara
lain As-Syafi’I, yang mewajibkan
memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu
alternatif bentuk kifarat.
·
Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berebeda. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah [2] ayat
222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala
istrinya sedang haid, sebelum haidnya berakhir. Sementara qira’at yang
membacanya dengan yuththahhina (didalam mushaf Ustmani tertulis yathhuma),
dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual
sebelum istrinya bersuci dan mandi.
·
Dapat menunjukan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam
kondisi berbeda pula. Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Ma’idah [5] ayat 6.
Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca arjulakum dan yang
membaca arjulikum. Perbedaan qira’at ini tentu saja
mengonsekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
·
Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata didalam Al-Quran
yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, didalam surat Al-Qariah [101]
ayat 5 yang dimaksud dengan kata Al-ihri adalah Al-shuf.
2. Pengaruhnya Dalam Istinbath
(Penetapan) Hukum
Perbedaan-
perbedaan qira’at terkadang berpengaruh pula dalam menetapkan ketentuan
hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh itu.[10]
·
Surat Al-Baqarah [2] ayat 222
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Berkaitan
dengan surat ini di antara imam qira’at tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at’Ashim
riwayat Syau’bah), Hamzah, dan Al-Kisa’I membaca kata yathhuma dengan
member syiddah pada hruf tha’ dan ha. Maka bunyinya menjadi
yuththahhirna. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih
bebeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang
membaca yathhuna berpendapat
bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya sedang
haid, kecualai telahsuci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara
antara yang membaca yuththahhina menafsirkan bahwa seorang suami tidak
boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.
·
Surat An-Nisa [4] ayat 43
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ
Berkaitan
dengan ayat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’I mempendekan huruf lam pada kata lamastum, sementara imam-imam
lainnya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at ini, terdapat
tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh,
bersentuh, dan sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qira’at itu
pula, para ulama fiqih ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki –laki san
perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa
bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan
·
Surat Al-Ma’idah [5] ayat 6
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
Berkaitan
dengan ayat ini, Nafi’, Ibn’Amir, Hafs, dan Al-Kisa’I membacanya dengan arjulakum,
sementara imam-imam yang lainnya membacanya dengan arjulikum. Dengan
membaca arjulakum, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua
kaki dan ridak membedakan dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan
beberapa hadist. Ulama- ulama Sy’iah Imamiyah berpegang pada bacaan arjulikum
sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu’. Pendapat
diriwayatkan juga dari Ibn’Abbas dan Anas bin Malik.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan pengertian
etimologi (bahasa), qira’at merupakan kata jadian (mashdar) dari kata qara’a
(membaca). Perbedaan-perbedaan bacaan umat muslim sesuai mazhab qiraah yang
diikutinya, ini menunjukkan betapa islam sangat menghargai perbedaan. Perbedaan
bukanlah suatu hal yang dapat menimbulkan perpecahan, bahkan merupakan sebuah
rahmat. Sebagaimana sabda Rasullah dalam sebuah hadist “ perbedaan yang terjadi
dalam umat-ku adalah rahmat”. Dengan perbedaan dalam pembacaan qiraah
menimbulkan perbedaan dalam mengistimbatkan hukum (dimana satu hukum dengan
hukum lainnya saling menguatkan). Ketika seorang mufassir menafsirkan al-qur’an
menurut mazhab yang diikutinya, maka ia melahirkan hukum yang berbeda dengan
mufassir lain yang mengambil ( Mengikuti) mazhab lain.
Perlu ditegaskan kembali bahwa qira’at-qira’at
itu bukanlah tujuh huruf, karena persoalan tentang tujuh huruf tersebut telah
berakhir sampai pada pembacaan terakhir (‘urdah al-akhirah), yaitu
ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu
menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat
dan pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf,
yaitu huruf quraisy.
Inilah diantara mukjizat-mukjizat
yang ada dalam al-qur’an yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Al-qur’an
diturunkan bukan untuk memberatkan umat akan tetapi memberikan
kemudahan bagi umat manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Hafs ‘Umar, Al-Mukarrar fi Ma Tawatara min
Al-Qira’at Al-Sab’’i, Al-Haramain, Singapura.
Bard Ad-Din Muhammad bin’Abdillah Az-Zarkasyi,
Al-Burhan fi’Ulum Al-Quran.
Hasanuddin A.F, Antomi Al-Quran: Perbedaan
Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Quran, raja
Grafindo, Persada, Jakarta.
Muhamad bin’Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Mutiara
Ilmu-Ilmu Al-Quran, terj. Rosihon Anwar, Pustaka Setia Bandung, 1999.
Al- Ibyariy Ibrahim,1998.Pengenalan
Sejarah Alquran, Jakarta: rajawali press,
Anwar Rosihon, 2008.Ulumul Qur’an untuk
IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka
[1]
Rosihon Anwar, Ulum Al quran,Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm. 140
[2] Ibid
141-142
[3]
Ibid 142
[4]
Ibrahim Al- Ibyariy,Pengenalan Sejarah Alquran, Rajawali Press, Jakarta,
1988, hlm. 105
[5]
Ibid, hlm. 106-107
[6]
Al-Shalih,op. cit, hlm, 248
[7] Muhamad bin ‘Alawi Al-Maliki Al- Hasani,
Mutiara Ilmu-ilmu Al-Quran, terj. Rosihon Anwar, Pustaka Setia Bandung,
1999, hlm 47-49, Al-Qaththan, op, cit, hlm 178-179
[8]
Al-Qaththan, op. cit, hlm. 176
[9]
Rosihon Anwar, Ulum Al quran,pustaka setia, Bandung, 2007, hlm 53-54
[10]
Abu Hafs’Umar ,Al-Mukarrar fi Ma Tawatara min Al-Qira’at As-Sab’I,
Al-Haramain, Singapura, hlm 18-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar