Minggu, 05 Mei 2013


BAB II
PEMBAHASAAN

A.    Pengertian Pegadaian Syariah
Pegadaian Syariah (Ar-Rahn) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.[1]
Gadai menurut Undang-Undang Hukum Perdata (Burgenlijk Wetbiek) Buku II Bab XX pasal 1150, adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang tersebut digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.[2]
Perusahaan umum pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana masyarakat atas dasar hukum gadai.[3]
Atau lebih jelasnya, gadai adalah akad pinjam meminjam dengan menyebabkan barang sebagai tanggungan utang atau jaminan atas utang.


B.     Sejarah Pegadaian Syariah
Pegadaian atau Pawn Shop merupakan lembaga perkreditan dengan sistem gadai. Lembaga semacam ini pada awalnya berkembang di Italia yang kemudian dipraktekkan di wilayah-wilayah Eropa lainnya, misalnya Inggris dan Belanda. Sistem gadai tersebut memasuki  Indonesia dibawa dan dikembangkan oleh orang Belanda (VOC), yaitu sekitar abad ke-19.
Bentuk usaha pegadaian di Indonesia berawal dari Bank Van Lening pada masa VOC yang mempunyai tugas memberikan pinjaman uang kepada masyarakat dengan jaminan gadai. Sejak itu bentuk usaha pegadaian telah mengalami beberapa kali perubahan sejalan dengan perubahan peraturan-peraturan yang mengaturnya.[4]
Peda mulanya usaha pegadaian di Indonesia dilaksanakan oleh pihak swasta, kemudian pada awal abad ke 20 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui Staatsblad tahun 1901 Nomor 131 tanggal 12 Maret 1901 didirikan rumah gadai pemerintah (Hindia Belanda) di Sukabumi, Jawa Barat. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka pelaksanaan gadai dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, selanjutnya dengan Staatsblad 1930 No 266 Rumah Gadai tersebut mendapat status Dinas pegadaian sebagai perusahaan Negara dalam arti undang-undang perusahaan Hindia Belanda.[5]
Dinas pegadaian mengalami beberapa kali perubahan bentuk badan hukum, sehingga akhirnya pada tahun 1990 menjadi Perusahaan Negara (PN) pegadaian, pada tahun 1969 Perusahaan Negara Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) pegadaian, dan pada tahun 1990 Perusahaan Jawatan Pegadaian diubah menjadi Perusahaan umum (PERUM) pegadaian melalui Peraturan Pemerinah nomor 10 Tahun 1990 Tanggal 10 April 1990. Peda waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan, misi sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh manajernya dalam mengelola pegadaian. Pengelolaan pegadaian bisa dilaksanakan  meskipun perusahaan tersebut mengalami kerugian. Sejak statusnya diubah menjadi Perusahaan Umum, keadaan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipertahankan lagi. Disamping berusaha memberikan pelayanan umum berupa penyediaan dana atas dasar hukum gadai, manajemen perum pegadaian juga berusaha agar pengelolaan usaha ini sedapat mungkin tidak mengalami kerugian. Perum pegadaian diharapkan akan dapat mengalami keuntungan atau setidaknya penerimaan yang didapat mampu menutup seluruh biaya dan pengeluarannya sendiri.[6]
Adapun pegadaian syariah merupakan sebuah lembaga yang relatif baru di Indonesia. Fungsi operasi pegadaian syariah dijalankan oleh kantor-kantor cabang pegadaian Syariah/Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi dibawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian.
      ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha  gadai konvensional. Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 kantor cabang Pegadaian di Aceh dikonversikan menjadi Pegadaian Syariah.[7]
Beberapa bank umum syariah yang ada di Indonesia pun telah terjun di pasar pegadaian dengan menjalankan prinsip syariah. Ada bank syariah yang  bekerja sama dengan Perum Pegadaian membentuk Unit Layanan Gadai Syariah di beberapa kota di Indonesia dan beberapa bank umum syariah lainnya menjalankan kegiatan pegadaian syariah sendiri.[8]


C.    Dasar Hukum Pegadaian Syariah
Landasan hukum pegadaian syari’ah adalah kisah dimasa Rasulullah, ketika seseorang menggadaikan kambingnya. Saat itu Rasulullah ditanya oleh salah seorang sahabatnya: bolehkah kambingnya diperah? Nabi mengizinkan, sekedar untuk  menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasulullah mengizinkan bagi penerima gadai untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan. Biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan objek ijtihad dari para pengkaji keuangan syari’ah, sehingga gadai ini menjadi produk keuangan syari’ah yang cukup menjanjikan.[9]
Beberapa landasan hukum pegadaian syari’ah:
1.      Al-Qur’an
Firman Allah dalam QS. al-Baqarah:283,
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
Artinya: jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

2.      Al-Hadits
a.       Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah berkata, “ Rasulullah pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b.      Dari Anas ra berkata, Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau. (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah).
c.       Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw berkata, “ apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga-nya). Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga-nya). Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)-nya.”
 (HR. Jamah kecuali Muslim dan Nasa’i).
d.      Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw berkata, “barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian (atau biaya).” (HR. Syafi’i dan Daruqutni). [10]
3.      Ijtihad Ulama’
Jumhur ulama’ menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah nabi Muhammad saw. yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama’ juga mengambil indikasi dari contoh nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap nabi Muhammad saw. yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan nbi Muhammad saw. kepada mereka.[11]
A.    Ketentuan Hukum Gadai Syariah[12]
·         Rukun Gadai Syariah
1.      Adanya ijab dan Kabul
2.      Adanya pihak yang berakad yaitu: pihak yang menggadaikan (rahn) dan yang menerima gadai (murtahin)
3.      Adanya jaminan (marhun) berupa barang atau harta
4.      Adanya utang (mahrun bih)
·         Syarat syah Gadai
1.      Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yaitu harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yakni berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan.
2.      Sighat
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan.
Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.
3.      Marhun bih (utang)
Harus merupakan hak yang wajib diberikan/ diserahkan kepada pemiliknya.
Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak dikualitifikasi rahn itu tidak sah.


4.      Marhun (barang)
Dengan syarat harus bisa diperjual belikan, harus beurpa harta yang bernilai, harus bisa dimanfaatkan secara syariah,harus diketahui keadaan fisiknya, harus dimiliki oleh rahn setidaknya harus seizing pemiliknya.
            Pada dasarnya pegadaian syariah berjalan diatas dua akad transaksi syariah yaitu:
a)      Akad Rahn. Rahn  adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimannya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini, pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
b)      Akad Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.
B.     Tujuan Dan Manfaat Pegadaian[13]
Perum Pegadaian bertujuan sebagai berikut:
a)      Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/pinjaman atas dasar hukum gadai
b)      Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
c)      Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jaring pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dan mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/pembiayaan bebrbasis bunga
d)     Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syariah mudah

Adapun manfaat pegadaian. Antara lain:
1)      Bagi nasabah: tersedianya dana dengan prosedur yang relatif lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan. Disamping itu, nasabah juga mendapat manfaat penakasiran nilai suatu barang bergerak secara Profesional. Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.
2)      Bagi perusahaan pegadaian:
·         Penghasilam yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana
·         Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu. Bagi bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.
·         Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur yang relatif sederhana
·         Berdasarkan PP No. 10 Tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan untuk:
a)      Dana pembangunan semesta (55%)
b)      Cadangan umum (20%)
c)      Cadangan tujuan (5%)
d)     Dana sosial (20%)
C.    Barang Jaminan Pegadaian Syariah
Jenis barang yang dapat diterima sebagai barang jaminan pada prinsipnya adalah barang bergerak, antara lain :[14]
a)      Barang-barang perhiasan yakni semua perhiasan yang dibuat dari emas, perhiasan perak, platina, baik yang dihiaskan intan, mutiara.
b)      Barang-barang elektronik seperti laptop, TV, kulkas, radio, tape recorder, vcd/dvd, radio kaset.
c)      Kendaraan seperti sepeda, sepeda motor dan mobil.
d)     Barang-barang rumah tangga.
e)      Mesin seperti mesin jahit, mesin motor kapal.
f)       Tekstil.
g)      Barang-barang lain yang dianggap bernilai seperti surat-surat berharga baik dalam bentuk saham, obligasi maupun surat-surat berharga lainnya
D.    Praktek Operasional Pegadaian Syariah
1.      Produk gadai (ar-rahn)[15]
Untuk mengajukan permohonan permintaan gadai, calon nasabah harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan berikut :
1)      Membawa fotocopy KTP atau identitas lainnya.
2)      Mengisi formulir permintaan rahn
3)      Menyerahkan barang jaminan (marhun)
Selanjutnya prosedur pemberian pinjaman marhun bih dilakukan melalui tahapan berikut :
1)      Nasabah mengisi formulir permintaan rahn
2)      Nasabah menyerahkan formulir permintaan rahn yang dilampiri dengan fotocopy identitas.
3)      Petugas pegadaian menaksir (marhun) agunan yang di serahkan
4)      Besarnya pinjaman/marhun bih adalah sebesar 90% dari taksiran marhun
5)      Apabila di sepakati besarnya pinjaman, nasabah menandatangani akad dan menerima uang pinjaman.
Penggolongan pinjaman dan biaya administrasi yang di terapkan pada gadai syariah dapat dilihat dari tabel berikut :



Golongan Marhun Bih
Plafon Marhun Bih
(Rp)
Biaya Administrasi (Rp)
A
20.000
150.000
1000
B
151.000
500.000
5000
C
501.000
1.000.000
8000
D
1.005.000
5.000.000
16.000
E
5.010.000
10.000.000
25.000
F
10.050.000
20.000.000
40.000
H
20.100.000
50.000.000
50.000
G
50.100.000
200.000.000
60.000

Tarif Ijarah
No.
Jenis Marhun
Perhitungan Tarif
1
Emas, berlian
Taksiran/Rp.10.000 x Rp.85 x jangka waktu/10
2
Elektronik
Taksiran/Rp.10.000 x Rp.90 x jangka waktu/10
3
Kendaraan Bermotor
Taksiran/Rp.10.000 x Rp.95 x jangka waktu/10

·         Tarif ijarah dihitung dari nilai taksiran barang jaminan atau marhun.
·         Tarif ijarah dihitung dengan kelipatan 10 hari, 1 hari dihitung 10 hari.
Contoh, misalnya nasabah memiliki barang jaminan berupa emas dengan nilai taksiran Rp.10.000.000 maka marhun bih maksimum yang dapat diperoleh nasabah tersebut sebesar Rp.9.000.000 (90% x taksiran). Maka besarnya ijarah yang menjadi kewajiban nasabah per 10 hari adalah Rp. 10.000.000,-/ Rp. 10.000,- x Rp. 85 x 10/10 = Rp. 85.000,-. Jika nasabah menggunakan marhun bih selama 25 hari, berhubung ijarah ditetapkan dengan kelipatan per 10 hari, maka besarnya ijarah adalah Rp. 255.000 (85.000 x 3).
2.      Produk Arrum[16]
Arrum merupakan singkatan dari ar-rahn untuk usaha mikro kecil yang merupakan pembiayaan bagi para pengusaha mikro kecil, untuk pengembangan usaha dengan berprinsip syariah.
Untuk memperoleh pembiayaan produk arrum ini, calon nasabah harus memenuhi beberapa persyaratan :
1)      Calon nasabah merupakan pengusaha mikro kecil dimana usahanya telah berjalan minimal 1 tahun.
2)      Memiliki kendaraan bermotor (mobil/motor) sebagai agunan pembiayaan.
3)      Calon nasabah harus melampirkan :
a.    Fotocopy KTP dan KK
b.    Fotocopy KTP suami/istri
c.    Fotocopy surat nikah
d.   Fotocopy dokumen usaha yang sah
e.    BPKB motor yang asli
f.     Fotocopy rekening koran atau tabungan
g.    Fotocopy pembayaran listrik dan telepon
h.    Fotocopy pembayaran PBB
i.      Fotocopy laporan keuangan usaha
4)      Memenuhi kriteria pelayakan usaha
3.      Produk gadai emas di bank syariah[17]
Gadai emas merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif memperoleh pembiayaan secara cepat. Bagi calon nasabah yang ingin mengajukan pemohonan dapat mendatangi bank-bank syariah yang menyediakan fasilitas pembiayaan gadai emas dengan memenuhi persyaratan :

a)      Identitas diri KTP/SIM yang masih berlaku
b)      Perorangan WNI
c)      Cakap secara hukum
d)     Mempunyai rekening giro atau tabungan di bank syariah tersebut
e)      Menyampaikan NPWP
f)       Adanya barang jaminan berupa emas
g)      Memberikan keterangan yang diperlukan dengan benar mengenai alamat, data penghasilan dan data lainnya.
Selanjutnya pihak bank syariah akan melakukan analisis pinjaman yaitu :
a)      Petugas bank memeriksa kelengkapan dan kebenaran syarat-syarat calon pemohon peminjam.
b)      Penaksir melakukan analisis terbapat data pemohon, keaslian jaminan berupa emas
c)      Jika menurut analisis, pemohon layak maka bank akan menerbitkan pinjaman (qardh) dengan gadai emas.
d)     Realisasi pinjaman dapat dicairkan setelah akad pinjaman (qardh) sesuai dengan ketentuan bank.
e)      Nasabah dikenakan biaya administrasi. Contoh perhitungan :
·      Biaya sewa (BS)                             : Rp. 1.500/gram/bulan
·      Berat emas ditaksir (BED)             : 20 gram
·      Karatese emas ditaksir (KED)        : 22 karat
·      Harga standar emas 24 karat (HSE): Rp. 250.000/ gram
·      Jangka waktu sewa                         : 4 bulan

Dari data di atas diperoleh perhitungan
·         Biaya sewa tempat penyimpanan emas perhitungannya :
BED x JW x Rp. 1.500, = 20 gram x 4 bulan x Rp. 1.500 = Rp. 120.000
·         Harga taksiran emas :
BED x HSE x KED/ 24 karat = 20 gram x Rp. 250.000,- x 22/24 =
Rp. 4.583.333,-
·         Maksimal pinjaman :
Rp. 4.583.333,- x 80% = Rp. 3.666.666(dibulatkan kebawah) menjadi Rp. 3.600.000
1.    Pelunasan dilakukan sekaligus pada saat jatuh tempo
2.    Apabila sampai dengan waktu yang ditetapkan nasabah tidak dapat melunasi dan proses kolektibilitas tidak dapat dilakukan, maka jaminan dijual di bawah tangan dengan ketentuan :
a.       Nasabah tidak dapat melunasi pinjaman sejak tanggal jatuh tempo pinjaman dan tidak diperbaharui.
b.      Diupayakan sepengetahuan nasabah dan kepada nasabah diberikan kesempatan untuk mencari calon pemilik.





















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pegadaian Syariah (Ar-Rahn) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.
Adapun pegadaian syariah merupakan sebuah lembaga yang relatif baru di Indonesia. Fungsi operasi pegadaian syariah dijalankan oleh kantor-kantor cabang pegadaian Syariah/Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi dibawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian.
Dasar hukum pegadaian syariah: Al-Quran, Hadist  dan Ijma’. Rukun gadai syariah: Adanya ijab dan Kabul, Adanya pihak yang berakad yaitu: pihak yang menggadaikan (rahn) dan yang menerima gadai (murtahin), Adanya jaminan (marhun) berupa barang atau harta dan Adanya utang (mahrun bih)
Syarat syah Gadai :Rahin dan Murtahin, Sighat, Marhun bih (utang), Marhun (barang).
Praktek Operasional Pegadaian Syariah : Produk gadai (ar-rahn), Produk Arrum, dan Produk gadai emas di bank syariah.
Tujuan Pegadaian: Pencegahan praktik ijon,pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya, Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syariah mudah
Manfaat Pegadaian : Bagi nasabah: tersedianya dana dengan prosedur yang relatif lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan. Bagi Perushaan: Penghasilam yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana,Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu. Bagi bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.



[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hal.128.
[2] Andri Soemitra, bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : kencana Media Group  thn 2009 hal 384
[3]http;//hendrakholid.net/blog/2009/05/18/pegadaian-syariah-makalah/
diunduh pada tanggal 27 feb 2013 pukul 08.30





[5] Andri Soemitra, bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : kencana Media Group  thn 2009 hal 388
[7] Andri Soemitra, bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : kencana Media Group  thn 2009 hal 389
[8] Ibid hal 389
[9] Ali Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Gafika, 2008, cet.1. hal 18

[10] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2004 hal.158-159.
[11] Ali Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Gafika, 2008, cet.1. hal 8
[12] Andri Soemitra, bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : kencana Media Group  thn 2009 hal 385-387
[13] Andri Soemitra, bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : kencana Media Group  thn 2009 hal 390-391
[14] Ibid hal 393-394
[15] Ibid hal 395
[16] Ibid hal 396
[17] Ibid hal 398

Tidak ada komentar:

Posting Komentar